Postingan

perihal cinta.

Aku mencintaimu. Tak peduli bagaimana kamu nanti. Kalau aku adalah pena, aku ingin kau jadi kertas. Bersama-sama kita menulis kenangan, merangkai kata demi kata, lantas bernostalgia berdua dibawah langit senja, bila nanti saat kita tua. Kalau aku adalah kopi pagi, aku ingin kau jadi gula. Bersama-sama kita mampu menciptakan ketenangan, menciptakan kerinduan rasa dan merindukanmu adalah candu. Satu hal yang harus kau ingat; Kemarin, sekarang, esok, lusa dan selamanya, kembali ke kalimat awal.

Harapan.

Waktu berlalu begitu cepat. Secepat menyapu diriku dalam ingatanmu. Siapa yang tahu? Kemarin kita asyik berbincang dan tertawa di meja paling ujung di kedai kopi. Tapi, sekarang, aku tak lagi jumpa namamu pada layar ponselku. Kau datang, lalu menjatuhkanku kedalam rasa nyaman bersama milyaran harapan. Lalu kau pergi, tanpa pamit. Aku jatuh cinta, kau pun jatuh cinta . Awalnya aku pikir seperti itu. Nyatanya, hanya aku yang jatuh cinta, sendirian.

Sendiri.

Dikaki langit, pemuda itu berdiri. Membiarkan kakinya diterpa lembutnya ombak. Matahari bersiap untuk beristirahat, meninggalkan jejak jingga yang indah. Pemuda itu enggan pulang, masih ingin sendiri, katanya. Senja dihadapannya, kelam didalam hatinya. Perasaan sesak selalu memenuhi dadanya, menciptakan luka baru dihatinya. Hidup memang selalu misterius, kita tidak tahu mengapa akhirnya harus begitu. Dia ingin pergi, tapi rindu selalu memenuhi hati. Tapi, hei, cinta perihal melepaskan dan mengikhlaskan, lantas, mengapa bersedih ? Sesekali dia menghibur hatinya sendiri—meski hatinya tak terhibur. Ia pernah mendengar seseorang berkata, “Aku bahagia asal kau bahagia, meski bukan denganku” Omong kosong, kalimat itu tidak pernah ada dalam kenyataan. Siapapun yang mengucap kalimat itu, percayalah, dia pun benci kalimat itu keluar dari bibirnya. Hari semakin gelap, matahari semakin tumbang, pemuda itu jatuh kedalam pusaran dalam mematikan lainnya, yang disebut: patah hat

Sore itu.

“Terimakasih. Aku pergi.” Katamu sore itu. Mengakhiri hubungan yang bertahun-tahun lamanya kujaga. Meninggalkan aku bersama hati yang membuka luka yang selama ini tertutup rapih.  Jalanan yang sepi dengan aku yang berusaha menyadarkan diri bahwa ini bukan sekedar mimpi. Tatapan matanya yang tidak lagi ‘bermakna’ menyadarkan aku bahwa memang ini akhirnya. “Baik-baiklah disana, dengan atau tanpa aku.” Ucapmu.  Tapi, seperti yang kau tahu, aku tidak pernah baik-baik saja tanpamu. Kau tersenyum, seolah semua akan baik-baik saja. Lalu kau pergi — aku masih menatap punggungmu. Sore itu, kali pertama aku membenci senyumanmu. Dan aku, masih menatap punggungmu.